Senin, 09 Februari 2009
TB PARU
TB PARU
(Diagnosis & Therapy)


Umar Akhsani
Prodi Keperawatan Semarang
Jurusan Keperawatan

Poltekkes Depkes Semarang



PENDAHULUAN


A. Latar Belakang


Penyakit TB Paruadalah Penyakit infeksi dan menular yang menyerang paru-paru yang disebabkan oleh kuman Microbacterium Tuberkolosis. Saat ini secara epidemiologi menurut WHO terdapat 10-12 penderita TB paru dan mempunyai kemampuan untuk menular, dengan angka kematian 3 juta penderita tiap tahun, dan keadaan tersebut 73 % terdapat di negara yang sedang berkembang dengan social ekonomi rendah seperti Indonesia. Di Indonesia penyakit TB Paru merupakan penyakit rakyat nomor satu dan penyebab kematian nomor tiga. Prevalensi BTA positif adalah 0,3 % (1982). Prevalensi pasien di dunia saat ini adalah sekitar 20 juta orang dan terdapat 3 juta pasien yang meninggal setiap tahunnya karena TB Paru, dan pada survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Depkes RI 1980 TB Paru menduduki urutan ke-10 morbiditas dan urutan ke-4 mortalitas. Pada SKRT tahun 1992 mortalitas ini meningkat ke urutan ke-2.
Berdasarkan informasi dari WHO tahun 1998, program TB Paru di Indonesia masih menempati rangking ke-3 di dunia setelah India dan RRC. Hal ini bisa dilihat dari angka kematian yang masih cukup tinggi yaitu sekitar 2,2 per 1000 penduduk. Dari angka tersebut setiap tahun di Indonesia muncul sejumlah kasus baru sekitar 436.000 kasus. Jika hal ini tidak mendapat perhatian dan penanganan yang tepat, cepat, segera dan intensif, maka prevalensi penyakit ini akan terus meningkat serta resiko penularan pun semakin tinggi.
Permasalahan yang sering timbul pada klien TB Paru terjadinya penularan pada anggota keluarga yang lain, droup out obat, terjadi gangguan peran, dan hubungan dalam keluarga maupun masyarakat, stigma sosial karena proses penyakit, koping individu serta koping keluarga yang tidak efektif.




REVIEW LITERATURE

A. Definisi Tuberculosis Paru

Tuberkolusis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang paru-paru dan disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis.
Jenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 mikro meter dan tebal antara 0,3-0,6 mikrometer. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid sehingga kuman ini tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap fisik dan kimiawi. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang menyukai daerah yang banyak oksigen, dalam hal ini lebih menyenangi daerah yang tinggi kandungan oksigennya yaitu daerah apical paru, daerah ini menjadi prediksi pada penyakit paru.

B. Patofisiologi TB Paru

Setelah basil tuberkulosis menginfeksi tubuh manusia, maka bakteri tadi menyebar melalui jalan napas ke alveoli, tempat dimana mereka berkumpul dan mulai untuk memperbanyak diri. Basil juga menyebar melalui luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis (TBC) terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit (sel T) adalah sel imunoresponsifnya. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil, gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronchus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonukleat tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini membutuhkan waktu 10-20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relative padat dan seperti keju, isi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan focus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas ke dalam bronchus dan menimbulkan kavitas. Materi tubercular yang dilepaskan dari difiding kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakheobronchial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer menjadi rongga-rongga serta jaringan nefrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk. Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberculosis milier. Ini terjadi apabila focus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam system vaskuler dan tersebar keorgan-organ tubuh.

C. Klasifikasi

Klasifikasi TB Paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologi, radiologik dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu factor determinan untuk menciptakan strategi terapi.
Klasifikasi TB Paru Program P2TB:
1. TB Paru BTA Positif, dengan criteria:
- Dengan atau tanpa gejal klinik.
- BTA positif: mokroskopik positif 2 kali, mikroskopis positif 1 kali disokong biakan positif 1
kali atau disokong radiologik positif.
- Gambaran radiologik sesuai dengan TB Paru.
2. TB Paru BTA Negatif, dengan criteria:
- Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB Paru aktif.
- BTA Negatif, biakan negatif tapi radiologik positif.
3. Bekas TB Paru, dengan criteria:
- Bakteriologi (mikroskopik dan biakan ) negatif.
- Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
- Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang tidak
berubah.
- Ada riwayat pengobatan OAT yang adekuat (lebih mendukung).

D. Program Therapi

Tujuan pengobatan pada penderita TB Paru selain untuk mengobati juga mencegah kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan mata rantai penularan.
Pengobatan Tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif ( 2-3 bulan) dan fase lanjutan ( 4-7 bulan).
Paduan obat yang di gunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, INH, Pirasinamid, Streptomicin dan Etambutol. Sedang jenis obat tambahan adalah KAnamicin, Kuinolon, Makrolide dan Amoksisilin, Asam Klavunalat, Derivat Rifampicin / INH.
Cara kerja , potensi dan dosis OAT utama dapat dilihat pada table berikut:

















Untuk keperluan pengobatan perlu batasan kasus terlebih dahulu berdasarkan lokasi tuberkulosa, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologik, hapusan dahak dan riwayat pengobatan sebelumnya. Disamping itu perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang direkomendasikan dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTS).

Strategi (DOTS)

1. Adanya komitmen politis berupa dukungan pengambilan keputusan dalam penanggulangan
TB.
2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung sedang pemeriksaan
penunjang lainnya seperti pemeriksaan radiologist dan kultur dapat di laksanakan di unit
pelayanan yang memiliki sarana tersebut.

3. Pengobatan TB dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO) khususnya dalam 2 bulan pertama dimana penderita harus
minum obat setiap hari.
4. Kesinambungan ketersediaan bantuan OAT jangka pendek yang cukup.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baku.

Sejak ditemukan obat-obat anti TB dan dimulainya dengan monotherapi, kemudian mulai timbul masalah resistensi terhadap obat-obat tersebut, maka pengobatan secara paduan beberapa obat ternyata dapat mencapai tingkat kesembuhan yang tinggi dan memperkecil jumlah kekambuhan.
Panduan obat jangka pendek 6-9 bulan yang selama ini dipakai di Indonesia dan dianjurkan juga oleh WHO adalah 2RHZ atau 4KH dan variasi lain adalah 2RHE/4RH, 2RHS/4RH, 2RHS/4RSHS/2RHS/4R2H2, dan lain-lain. Untuk TB Paru yang berat (milier) dan TB Extra Paru, therapy tahap lanjutan diperpanjang jadi 7 bulan yakni 2RHZ/2RH. Departemen Kesehatan RI selama ini menjalankan program pemberantasan TB Paru dengan panduan 1RHE/5R2H2.
Bila pasien alergi/ hipersensitif terhadap Rifampisin, maka paduan obat jangka panjang 12-18 bulan dipakai kembali yakni SHZ, SHE, SHT, dan lain-lain.
Beberapa obat anti TB yang dipakai saat ini adalah.
1. Obat anti TB tingkat Satu
Rifampisin (R), Isoniazid (I), Pirazinamid (P), Etambutol (E), Streptomisin (S).
2. Obat anti TB tingkat dua
Kanamisin (K), Para-Amino-Salicylic Acid (P), Tiasetazon (T), Etionamide, Sikloserin,
Kapreomisin, Viomisin, Amikasin, Ofloksasin, Sifrofloksasin, Norfloksasin, Klofazimin, dan
lain-lain. Obat anti TB tingkat dua ini daya terapeutiknya tidak sekuat yang tingkat satu dan
beberapa macam yang terakhir yaitu golongan ammoglikosid dan qulnolon masih dalam tahap
esperimental. Belakangan ini WHO menyadari bahwa pengobatan jangka pendek tersebut
baru berhasil bila obat-obat yang relative mahal (R&Z) tersedia sampai akhir masa
pengobatan. Di beberapa Negara berkembang, pengobatan jangka pendek ini banyak yang
gagal mencapai angka kesembuhan yang (cure rate) ditargetkan yakni 85% karena :
- Program pemberantasan kurang baik
- Buruknya kepatuhan
Hal ini menyebabkan :
- Populasi TB semakin meluas.
- Timbulnya resistensi terhadap berbagai macam obat.
Adanya epidemic AIDS akan lebih mengobatkan kembali aktifnya TB.
Menyadari bahaya tersebut diatas, WHO pada tahun 1991 mengeluarkan pernyataan baru
dalam pengobatan TB Paru sebagai berikut.
Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni
1. Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4-5 macam obat anti TB perhari dengan tujuan :
- Mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakterisidal)
- Menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut.
- Mencegah timbulnya resistensi obat.
2. Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan 2 macam obat per-hari atau
secara intermitten dengan tujuan.
- Menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi)
- Mencegah kekambuhan
Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33 kg, 33-50 kg dan lebih
dari 50 kg.

PENGOBATAN SESUAI KATEGORI TB PARU



























Skema Perjalanan Penyakit TB Paru




















































DAFTAR PUSTAKA


Smeltzer, S. C & Bare, B G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal-bedah (Brunner & Suddarth) Vol. 2. (edisi 8). Jakarta: EGC
Carol Teyeor, Priscilla. (1999). Fundamental of nursing. NewYork: Lippinchot
Carpenito, L J. (2001). Diagnosa keperawatan (edisi 8). Jakarta: EGC
Marylin, E Doengoes. (2000). Rencana asuhan keperawatan pedoman untuk perencanaan/ pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.
Ganong F. William. (1998). Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 17. Jakarta; EGC
posted by akhsani_umar86 @ 00.24   0 comments
Sabtu, 07 Februari 2009
Nursing Documentation

KONTROVERSI PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI KEPERAWATAN BERBASIS KOMPUTER

Umar Akhsani, AMK

Prodi Keperawatan Semarang

JURUSAN KEPERAWATAN-POLTEKKES DEPKES SEMARANG



Makna Sebuah Dokumentasi

Tungpalan (1983) mengatakan bahwa “Dokumen adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti dalam persoalan hukum. Sedangkan pendokumentasian adalah pekerjaan mencatat atau merekam peristiwa dan objek maupun aktifitas pemberian jasa (pelayanan) yang dianggap berharga dan penting .

Dokumentasi asuhan dalam pelayanan keperawatan adalah bagian dari kegiatan yang harus dikerjakan oleh perawat telah memberi asuhan kepada pasien. Dokumentasi merupakan suatu informasi lengkap meliputi status kesehatan pasien, kebutuhan pasien, kegiatan asuhan keperawatan serta respons pasien terhadap asuhan yang diterimanya. Disamping itu catatan juga dapat sebagai wahana komunikasi dan koordinasi antar profesi (Interdisipliner) yang dapat dipergunakan untuk mengungkap suatu fakta aktual untuk dipertanggungjawabkan.

Dokumentasi asuhan keperawatan merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan yang dilaksanakan sesuai standar. Dengan demikian pemahaman dan ketrampilan dalam menerapkan standar dengan baik merupakan suatu hal yang mutlak bagi setiap tenaga keperawatan agar mampu membuat dokumentasi keperawatan secara baik dan benar

Catatan pasien merupakan suatu dokumen yang legal, dari status sehat sakit pasien pada saat lampau, sekarang, dalam bentuk tulisan, yang menggambarkan asuhan keperawatan yang diberikan. Umumnya catatan pasien berisi imformasi yang mengidentifikasi masalah, diagnosa keperawatan dan medik, respons pasien terhadap asuhan kerawatan yang diberikan dan respons terhadap pengobatan serta berisi beberapa rencana untuk intervensi lebih lanjutan. Keberadaan dokumentasi baik berbentuk catatan maupun laporan akan sangat membantu komunikasi antara sesama tenaga kesehatan.

Tujuan Dokumentasi dalam Keperawatan

Pencatatan dalam proses keperawatan mempunyai beberapa tujuan,diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Sebagai Sarana Komunikasi

Dokumentasi yang dikomunikasikan secara akurat dan lengkap dapat berguna untuk:

Membantu koordinasi asuhan keperawatan yang diberikan oleh tim kesehatan.

Mencegah informasi yang berulang terhadap pasien atau anggota tim kesehatan atau mencegah tumpang tindih, bahkan sama sekali tidak dilakukan untuk mengurangi kesalahan dan meningkatkan ketelitian dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien.



Membantu tim perawat dalam menggunakan waktu sebaik-baiknya.

  1. Sebagai Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat

  2. Sebagai Informasi statistik

  3. Sebagai Sarana Pendidikan

  4. Sebagai Sumber Data Penelitian

  5. Sebagai Jaminan Kualitas Pelayanan Kesehatan

  6. Sebagai Sumber Data Perencanaan Asuhan Keperawatan Berkelanjutan



Prinsip-Prinsip Pencatatan Dalam Dokumentasi Keperawatan

Prinsip pendokumentasian menurut POR (Patient Oriented Medical Record) meliputi Isi dan juga teknik pencatatan

  1. Isi pencatatan

  1. Mengandung Nilai Administratif. Misalnya rangkaian pendokumentasian kegiatan pelayanan keperawatan merupakan alat pembelaan yang sah manakala terjadi gugatan.

  2. Mengandung Nilai Hukum. Dokumentasi keperawatan merupakan aspek legal dalam pelaksanaan pelayanan keperawatan dan dapat dijadikan sebagai pegangan hukum bagi rumah sakit, petugas kesehaan, maupun pasien. Misalnya sebelum melakukan suatu tindakan pada pasien, perawat membuat informed concent yang nantinya dapat dijadikan sumber hukum saat terjadi komplikasi tindakan

  3. Mengandung Nilai Keuangan. Besarnya fiscal yang harus ditanggung oleh pasien adalah berdasarkan tindakan yang dilaksanakan dalam rentang waktu perawatan. Oleh sebab itu pencatatan merupakan hal penting dalam keuangan rumah sakit

  4. Mengandung Nilai Riset. Pencatatan mengandung data, atau informasi, atau bahan yang dapat digunakan sebagai objek penelitian.Mengandung Nilai Edukasi

  5. Mengandung Nilai Edukasi. Pencatatan medis keperawatan dapat digunakan sebagai referensi atau bahan pengajaran di bidang profesi si pemakai.

  1. Teknik pencatatan

  1. Menulis nama pasien pada setiap halaman catatan perawat

  2. Mudah dibaca, sebaiknya menggunakan tinta warna biru atau hitam

  3. Akurat, menulis catatan selalu dimulai dengan menulis tanggal, waktu dan dapat dipercaya secara faktual

  4. Ringkas, singkatan yang biasa digunakan dan dapat diterima, dapat dipakai. Contoh : Kg untuk Kilogram

  5. Pencatatan mencakup keadaan sekarang dan waktu lampau (termasuk keterkinian)

  6. Jika terjadi kesalahan pada saat pencatatan, coret satu kali kemudian tulis kata “salah” diatasnya serta paraf dengan jelas. Dilanjutkan dengan informasi yang benar “jangan dihapus”.

  7. Tulis nama jelas pada setiap hal yang telah dilakukan dan bubuhi tanda tangan

  8. Jika pencatatan bersambung pada halaman baru, tandatangani dan tulis kembali waktu dan tanggal pada bagian halaman tersebut.

Opini Penulis terhadap Kontroversi Pendokumentasian Proses Keperawatan Berbasis Komputer

Pada dasarnya dokumen keperawatan merupakan rekaman dari keseluruhan tindakan/ proses keperawatan yrng dilakukan oleh perawat hubungannya dengan apsien dan juga tim kesehatan yang lain. Apapun model atau metode pendokumentasian itu tidak menjadi masalah selama masih dalam standar prinsip-prinsip pencatatan dokumentasi. Begitu pula proses dokumentasi dengan menggunakan komputer, meskipun tidak menggunakan "tinta", namun essensi yang ada dalam pendokumentasian harus tetap sama sesuai dengan standar yang ada.

Oleh sebab itu Pembakuan klasifikasi dalam asuhan keperawatan merupakan hal yang sangat penting, apalagi jika kita bicara dalam konteks komputerisasi. Kesepakatan istilah dan terminologi akan memperbaiki proses komunikasi, menghilangkan ambiguitas dokumentasi serta memberikan manfaat lebih lanjut terhadap sistem kompensasi, penjadwalan, evaluasi efektivitas intervensi maupun sampai kepada upaya identifikasi error dalam manajemen keperawatan.

Hingga saat ini, salah satu tantangan besar dalam informatika kesehatan adalah disepakatinya standar klasifikasi dan terminologi yang mencakup berbagai konsep (kedokteran, keperawatan, laboratorium, obat, patient safety, images, pertukaran data, demografis dan lain-lain

Dalam kongres APAMI yang lalu di Taiwan pun juga tersirat keingingan kuat untuk memasukkan muatan lokal terhadap berbagai standar internasional yang ada. Pada sesi selanjutnya, DR. Ratna Sitorus, M.App.Sc menguraikan secara rinci perkembangan NANDA, NIC dan NOC serta dampaknya bagi praktek keperawatan di Indonesia. Beliau menyambut baik inovasi RSUD Banyumas yang menjadi pionir penerapan komputerisasi asuhan keperawatan berbasis 3N.

Success story Wan Fang Hospital dalam menerapkan gerakan keselamatan pasien dengan memanfaatkan teknologi informasi (berbasis komputer) dapat dijadikan cakrawala baru bagi dunia kesehatan khususnya keperawatan. Dengan diterapkannya CPOE (computerized physician order entry) yang dilengkapi dengan sistem pendukung keputusan, berbagai medical error dapat dicegah. Demikian juga, sistem pencatatan dan pelaporan error elektronik telah dirancang untuk mengidentifikasi dan menganalisis error yang terjadi secara cepat.

Akan tetapi, sebagian besar rumah sakit di Indonesia berada dalam keadaan yang 180 derajat berbeda dengan Wan Fang Hospital. Sehingga, bisa saja ada rumah sakit Indonesia yang sudah menerapkan paperless, wireless dan filmless, tetapi maknanya lain.

    Paperless untuk rekam medis kertas yang tidak lengkap dan isinya acak-acakan,

    Wireless yang dapat diartikan dengan tidak ada kabel jaringan sama sekali (bukan koneksi internet/Wifi)

    Filmless untuk rumah sakit dengan radiologi yang rusak.

Namun proses pendokumentasian berbasis komputer tidak selamanya membawa dampak positif. Dalam penelitian yang dilakukan di Children’s Hospital of Pittsburgh (CHP)1 oleh Han YY, ditemukan adanya peningkatan mortalitas pasien yang secara koinsidental terjadi setelah implementasi CPOE (2,8% menjadi 6,57%). Laporan tersebut cukup menghebohkan karena Upperman (2006) sebelumnya melaporkan adanya penurunan kejadian adverse drug event (ADE) yang signifikan setelah penerapan CPOE. Apalagi rumah sakit tersebut menyandang predikat sebagai rumah sakit anak pertama di AS yang menerapkan CPOE 100% menggunakan software komersial dari Cerner. Penelitian tersebut tentu saja merupakan tamparan yang manis bagi mereka yang gencar mempopulerkan teknologi informasi di rumah sakit.

Enrico Coiera dalam tulisannya yang berjudul The safety and quality of decision support systems yang diterbitkan di IMIA Yearbook 2006 menuliskan bahwa sistem pendukung keputusan yang dirancang, diterapkan atau digunakan secara sembrono malah akan menyebabkan bahaya. Berbagai penerapan sistem peresepan elektronik komersial yang gagal mendeteksi interaksi antar obat menimbulkan pertanyaan bagaimana mekanisme terbaik yang dapat menjamin mutu suatu sistem rekam medis elektronik. Keefektifan sistem pendukung keputusan, termasuk berbagai perangkat teknologi informasi di kesehatan, tidak bisa dinilai berdasarkan kegunaan dan kinerja softwarenya saja. Namun harus memperhatikan interaksi kognitif dan sosioteknis yang kompleks. Memahami konteks ini akan menghasilkan perangkat lunak yang tidak hanya "aman" secara intrinsik tetapi juga "aman" ketika digunakan oleh para klinisi yang sibuk dan serba terbatas. Sehingga, dengan semakin banyaknya perangkat rekam medis komersial beredar di AS, sampai-sampai mereka memiliki lembaga dan mekanisme untuk melakukan sertifikasi software dalam rangka standardisasi metode pendokumentasian dengan menggunakan tekhnologi komputer tersebut .




DAFTAR PUSTAKA



Potter,Patricia A dan Perry Anne Griffin.2005.Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC


http://www.kmpk.ugm.ac.id/data/SPMKK/8-DOKUMENTASI%20DAN%20SIK(revJan'03).doc.


http://www.paripusat_com/artikel/InformedConsent-i Memberikan Jaminan Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksa_.htm


http://www.pediatric_com/computerized physician order entry system_htm. JOURNAL PEDIATRICS Vol. 116 No. 6 December 2005, pp. 1506-1512 (doi:10.1542/peds.2005-1287)


Hidayat, A A Alimul, S.Kep. 2002. Pengantar Dokumentasi Proses Keperawatan. Jakarta: EGC.


Nursalam, BSN, N nurs. 2001. Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik. Jakarta: Salemba Medika.


1 jurnal Pediatrics Vol. 116 No. 6 Desember 2005, halaman (1506-1512).

posted by akhsani_umar86 @ 00.59   0 comments
Selasa, 03 Februari 2009
SElamat datang Sabat-sahabatQ...... di Blog..Q ini


posted by akhsani_umar86 @ 21.15   0 comments
about me
Foto Saya
Nama:
Lokasi: Demak, Jawa Tengah, Indonesia

Assalamu'alaikum, nama saya Umar, Saya alumni dari Prodi Keperawatan Semarang Tahun 2008,,,Saya asli Demak, Ahlan Wa sahlan semuanya Di blog saya,...

Udah Lewat
Archives
sutbok
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam.
judul

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Duis ligula lorem, consequat eget, tristique nec, auctor quis, purus. Vivamus ut sem. Fusce aliquam nunc vitae purus. Aenean viverra malesuada libero. Fusce ac quam.

Links
Template by
Blogger Templates